Ada sebuah kisah nyata dari satu-satunya peraih nobel fisika dari Swedia berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, pemuda ini adalah anak yang ‘ndableg’. Suka berbuat onar dan tidak taat aturan.
Ketika ujian fisika dasar, diantara semua mahasiswa, ada satu yang tidak lulus dan dengan jawaban soal yang nyeleneh semua.
Salah satu pertanyaannya seperti ini:
Silahkan ukur tinggi bangunan tingkat 30 itu dengan menggunakan barometer ini!
Semua mahasiswa menjawab benar dengan teori yang diberikan. Karena mahasiswa ini merasa jawabannya juga benar, walaupun cara yang digunakan salah,maka proteslah dia dengan mengumpulkan seluruh dewan dosen untuk menanyakan kenapa dirinya tidak diluluskan dari ujian tersebut.
Para dosen berkumpul kemudian memberikan ujian ulang kepada mahasiswa ini, silahkan kerjakan soal tersebut dan kami beri waktu Sembilan menit!
Dengan diawasi para dosen, pemuda ini malah menggunakan kertas ujian untuk dioret-oret dan digambari aneh-aneh sampai waktu yang diberikan habis. Spontan para dosen memarahi sang mahasiswa. “kamu ini benar-benar goblok! Mengerjakan soal semudah itu saja tidak bisa…”
“saya itu sebenarnya bisa mengerjakan soal sepele kayak gini pak! Cuma saya bingung bagaimana cara mengerjakannya.” Bantah sang mahasiswa
Sambil mengambil spidol, dia kemudian berdiri dan maju ke papan tulis untuk menjelaskannya.
“Pertama, saya akan naik ke lantai paling tinggi, kemudian barometer saya ikat dengan benang sampai barometer menyentuh lantai, benang saya tandai dan saya tarik lagi. Lalu saya ukur berapa panjang benang itu.”
Para dosen menyalahkan jawaban itu, alasannya tidak efektif. “itu jawaban anak SD!” teriak salah satu dosen.
“Kedua, saya bisa saja menggunakan sebuah sinar matahari pada kira-kira jam 9 pagi, kemudian kita lihat bayangan gedung untuk diukur, lalu saya ambil barometer itu dan saya kenakan matahari. Maka saya bisa tahu dengan menggunakan perbandingan sederhana.”
Para dosen masih menyalahkan cara untuk mendapatkan jawaban. “masih kurang efektif!”
“Ketiga, saya akan membawa barometer itu ke lantai atas, dan saya jatuhkan. Dengan menggunakan stopwatch akan saya hitung berapa lama barometer itu sampai tanah dan dengan menggunakan teori gravitasi maka saya akan mengetahui tinggi gedung tersebut. Tapi sayangnya barometer itu akan pecah”
“bukan teori itu yang saya butuhkan!” jawab seorang dosen.
Keempat, saya juga mikir begini. Kalau saya naik tangga darurat, kemudian saya ukur tiap tangga itu dengan menggunakan barometer yang saya konversi ke dalam ukuran meter lalu saya kalikan dengan jumlah anak tangga sampai puncak. Akan saya dapatkan tingginya gedung.”
“Bukan yang seperti itu.” Teriak dosen.
“Saya juga punya cara yang sangat scientific, dengan menggunakan sistem pendulum. Saya kasih benang sepanjang satu sentimeter lalu saya swingkan barometer di bawah lantai dan saya lakukan juga di lantai atas. Saya ukur perbedaan kecepatan swing dengan menggunakan sebuah rumus yang rumit sehingga mendapatkan tinggi gedung yang saya harapkan”
“Masih kurang efektif!” teriak dosen.
“Keenam, saya juga bisa menggunakan cara sederhana dengan cara membandingkan berapa tekanan di bawah gedung dengan tekanan udara diatas gedung menggunakan barometer. Kemudian menggunakan perbandingan untuk mengukur tinggi gedung tersebut.”
Para dosen tampak senang dengan jawaban tersebut. “Nah, jawaban itu yang sebenarnya kami harapkan!” ucap salah satu dosen.
“Tapi cara tersebut masih kurang efektif!” Bantah mahasiswa.
Para dosen terkejut.
“Ada cara yang lebih saya sukai, praktis dan nggak ribet. Yaitu tinggal saya ketuk-ketuk pintu tukang satpam di gedung itu. Lalu saya tanyai tukang satpam itu berapa sih tinggi gedung tersebut. Kalau bapak satpam kasih tahu akan saya beri hadiah sebuah barometer!”
Para dosen tidak menyangka mahasiswanya akan berkata seperti itu.
No comments:
Post a Comment